Review/preview - Issue - News - Comments - Mind words

Tuesday, February 03, 2009

Perlunya pendidikan politik di Indonesia

Saya bukan pakar atau pengamat politik yang kompeten di dunia politik Indonesia. Saya juga bukan politikus seperti tikus2 yang bergerak dibidang politik. Saya cuma rakyat biasa yang memandang sinis pada ironi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Jujur saja, apa yang diharapkan pemerintah dengan adanya pesta pemilihan umum wakil rakyat tidak sepenuhnya tepat sasaran, atau bahkan bisa dikatakan melenceng dari tujuan demokrasi.
Ketika kaum elit politik berdebat dan berjuang untuk aspirasi sesuai kesepakatan golongan mereka, kaum bawah tidak berpikir sepanjang mereka.
Apa yang terjadi saat masa2 menjelang pemilu adalah munculnya para spekulan dan orang2 oportunis yang ingin memanfaatkan hegemoni yang berkembang di tengah masyarakat.
Jangankan peduli dengan masa depan negara, siapa wakil mereka di pemerintahan saja mereka tidak cukup acuh. Yang ada hanyalah, partai mana - golongan mana - siapa yang memberikan keuntungan dalam segi finansial.
Lihatlah aksi fanatisme buta pada suatu partai, bukan karena wakil2 yang ditawarkan partai tersebut berkualitas dan berkompeten, tapi karena diujung kepengurusan partai tersebut terdapat tokoh yang sudah mendarah daging bagi partai tersebut (tahu maksud saya?). Ini seperti era Gabriel Batistuta masih bermain sepakbola, dimana dia membela suatu klub, disitulah fans akan mendukung.
Dan yang jelas2 terjadi adalah munculnya kesempatan untuk mengeruk keuntungan dari momentum seperti ini.
Saat sebuah partai ramai2 "menghasut" rakyat dengan janji2 dan tindakan nyata, rakyat yang diberi hati masih menuntut jantung. nggak cukup jalan diperbaiki, tapi minta sembako gratis.
Ketika para caleg berlomba-lomba "menjilat" rakyat dengan mimpi2 dan tindakan nyata, rakyat yang dibela menginginkan lebih. Tidak cukup dengan sembako gratis, mereka minta uang ala kadarnya.
Jadi, berapakah harga kemajuan negara ini? Ketika kaum elit politik hanya mencari kekayaan tambahan di panggung politik di Senayan, atau di kantor DPRD. Ketika para kaum bawah hanya mencari keuntungan pribadi dari para wakil rakyat yang mungkin begitu bodohnya sehingga mau saja dibodohi masyarakat.
Pemilu bukan lagi berarti Pemilihan Umum untuk menentukan wakil rakyat untuk membangun negara, melainkan Pemungutan Infak Legislatif Umum untuk rakyat yang masih hanya berpikir tentang perut dan perut.
Apakah frase "makan untuk hidup" masih begitu kental bagi rakyat bawah? sedangkan kaum atas justru dengan pongah menyandang frase "hidup untuk makan" (apa atau siapa yang dimakan, kita gak tahu).
Majulah Indonesia ku tercinta, belajar dari kesalahan sendiri lebih bijaksana daripada belagak belajar dari negara lain.

No comments: