Review/preview - Issue - News - Comments - Mind words

Friday, January 16, 2009

Perempuan berkalung sorban

Setelah bertanya-tanya film apa yg ditunggu di tahun 2009 ini, akhirnya terjawablah sudah. Di pembukaan tahun kerbau ini kita disuguhi film kontroversial berkualitas berjudul "Perempuan berkalung sorban". Sekali lagi film ini diangkat dari novel berjudul sama karya Abidah El Khalieqy. Disutradarai oleh Hanung Bramantyo, saya pribadi berharap film ini tidak mengalami pergeseran maksud seperti yg terjadi pada Ayat2 cinta.

Seperti halnya Habiburrahman El Shiraizy,  Abidah El Khalieqy mencoba mengangkat tema dalam ruang lingkup berbalut ajaran Islam. Dan lagi2 gak jauh2 dari istilah Negara Mesir (kayak gak ada negara lain aja ya?). Bedanya ada pada cara mereka bercerita dan berpesan.  Abidah El Khalieqy lebih bisa mengalurkan cerita dengan pengembangan setiap karakter yang ada, Kang Abik sepertinya harus banyak belajar mengenai 'cara bercerita'. Tapi mengenai berpesan atau berdakwah Kang Abik bisa lebih halus menyusupkannya dalam setiap adegan, sementara  Abidah El Khalieqy menuangkannya dalam pressure.

Perempuan berkalung sorban berkisah tentang pengorbanan seorang perempuan, anak seorang kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri. Annisa, seorang perempuan berpendirian keras dengan kemasan rupa yang cantik. Annisa hidup dalam lingkungan pesantren Salafiah putri Al Huda Jombang, Jawa Timur. Pesantren Salafiah putri Al Huda adalah pesantren yang konservatif, kolot dan kaku. Menurut mereka ilmu sejati dan benar hanyalah Al Quran, Al Hadist dan Sunnah. Ilmu2 selain itu dianggap menyimpang dan patut diwaspadai (Bukankah Allah SWT memerintah kita untuk belajar dari semua yang tersurat dan tersirat di dunia ini?). Karena itu para santri, termasuk Annisa, dilarang membaca buku-buku selain itu.

Pesantren Salafiah putri Al Huda mengajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim menurut mereka. Muslimah yang baik menurut Islam adalah: tidak membantah suami, Haram meminta cerai, selalu ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan suami, termasuk jika suami hendak melakukan poligami, Tidak boleh berkata lebih keras dari suaminya, meskipun dalam menyatakan ketidaksetujuan, Tidak boleh mengulur waktu bahkan menolak saat suami mengajak berjimak, Ikhlas menerima pembagian warisan sekalipun hanya ¼ bagian (lebih kecil daripada bagian laki-laki).

Doktrin seperti itu membuat Annisa beranggapan bahwa Islam sangat membela laki-laki. Islam meletakkan perempuan sangat lemah dan dalam posisi yg tidak seimbang (mirip cerita RA Kartini). Sejak kecil Annisa selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari ayahnya. Kedua kakaknya boleh belajar berkuda, sementara Annisa tidak boleh karena dia perempuan.

Annisa selalu mencoba mencari cara menunjukkan bahwa perempuan bukan kaum yang selalu dibawah. ‘Bagaimana dengan Hindun Binti Athaba?’ Tanya Annisa kepada ayahnya. ‘Beliau perempuan, seorang panglima. Lalu Fatima Azahra, putri Rosul, malah memimpin perang.’ Tapi protes Annisa selalu dianggap sebagai angin lalu. Annisa juga sering memprotes, ketika Ustadz Ali mengajarkan kitab Ahlkaqul Nisaa, Bulughul Maram dan Bidayatul Mujtahid, yang membahas hak dan kewajiban perempuan dihadapan suami yang dirasa tidak adil bagi Annisa. ‘Apa hukuman buat suami yang minta cerai,. Padahal sang isteri berusaha mempertahankan rumah tangga?’ Tanya Annisa kepada Ustadz Ali. ‘Lalu bagaimana jika suami yang mengulur-ulur waktu atau menolak ketika sang isteri mengajak berjimak? Apa hukuman buat suami?’ (pertanyaan2 seperti ini sangat menampar kaum pria)

Lagi-lagi protes Annisa hanya dianggap sambil lalu. Annisa selalu merasa dirinya berada dalam situasi yang salah. Hanya Khudori, paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Annisa. Menghiburnya. Khudori selalu menjadi tempat curahan perasaan Annisa ketika dirinya diperlakukan tidak adil oleh keluarganya. Diam-diam Annisa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan, meskipun bukan sedarah. Khudori juga menyadari selisih umur yang terpaut jauh dengan Annisa. Hal itu membuat Khudori berusaha mengabaikan cintanya demi menjaga stabilitas pesantren. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo (Nah, yg ini jadi mirip Siti Nurbaya).

Khudori selalu menyarankan Annisa untuk belajar. Kalau perlu sampai ke luar negeri. Khudori yang membawa pemikiran Annisa pada keterbukaan wawasan. Diam-diam Annisa mendaftarkan kuliah di Jogja. Tapi Kyai Hanan tidak mengijinkan Annisa melanjutkan kuliah ke Jogja, dengan alasan akan menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Annisa terus merajuk dan menentang alibi ayahnya.

Annisa justru dinikahkan dengan Samsudin, seorang putra Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jombang. Pernikahan itu bermaksud juga sebagai propaganda pernikahan dua pesantren Salafiah yang mana nantinya akan menjadi pesantren besar di kota Jombang seperti Tebu Ireng. Walaupun hati Annisa menolak, tapi pernikahan itu tetap berlangsung juga demi martabat keluarga dan pesantren Al Huda.

Dalam mengarungi rumah tangga bersama Samsudin. Annisa selalu mendapatkan perlakuan kasar dari samsudin (Bos, ini namanya KDRT: kekerasan dalam rumah tangga). Samsudin mengidap kelainan psikologis. Seorang lelaki possesif dan kasar. Tapi ketika Annisa berniat meninggalkannya, Samsudin berubah menjadi lelaki rapuh yang merengek-rengek sambil bersujud meminta ampun kepada Annisa. Biduk keluarga Annisa berlangsung bagai neraka. Tubuh Annisa yang dulunya bercahaya, menjadi suram. Apalagi dalam 2 tahun pernikahan, Annisa tidak dikaruniai anak. Keluarga Samsudin semakin memandang buruk Annisa dan Samsudin. Sampai kemudian Annisa harus menghadapi kenyataan bahwa Samsudin menikah lagi dengan seorang janda bernama Kalsum. Seorang perempuan lebih tua, cantik dan bisa mempunyai keturunan. Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Annisa seketika runtuh. Annisa berada dalam badai yang  seakan tidak memiliki akhir.

Dalam keputusasaaan itu, Khudori pulang dari Kairo. Annisa seperti mendapatkan secercah harapan. Tapi Khudori bukan anak Kyai seperti Samsudin. Apalah arti seorang Khudori bagi keselamatan Annisa. Tapi Annisa tidak peduli. Dia menumpahkan segala keluh kesah kepada Khudori. Annisa meminta Khudori membawanya pergi. Annisa rela dianggap anak durhaka asal dirinya bisa keluar dari kemelut keluarganya. Tapi Khudori bukan lelaki gegabah. Khudori mencoba meredam gejolak emosi Annisa. Dalam kegusarannya itu, Khudori memeluk Annisa. Sebuah pelukan hangat seorang paman kepada keponakannya yang sedang resah. Tapi tiba-tiba, Samsudin datang dan memergoki keduanya. Samsudin berseru ‘Zinah! Rajam! Rajam!’ yang kemudian membawa Annisa dan Khudori dalam kemelut fitnah. Annisa tidak bisa berbuat apa-apa karena orang-orang sudah telanjur terbakar emosi fitnah. Kejadian itu membuat Kyai Hanan malu dan sakit hingga meninggal dunia. Khudori diusir dari kalangan keluarga pesantren Al Huda, sementara Annisa pergi ke Jogja untuk melanjutkan niatnya bersekolah. Pesantren Al Huda diserahkan kepada Reza, kakak Annisa. Akibat peristiwa itu, hubungan keluarga Samsudin dan Annisa menjadi semakin memburuk. Reza mencoba memperbaiki hubungan silaturahmi dengan keluarga Samsudin demi kepentingan pesantren. Hal itu membuat hubungan Reza dan Annisa renggang. Dimata Reza, Annisa sebagai perusak stabilitas keluarga. Perilaku Annisa bukan cerminan anak kyai yang baik. Sementara itu Annisa berkembang sebagai muslimah dengan wawasan dan pergaulan yang luas. Lewat studinya sebagai penulis, Annisa banyak menyerap ilmu tentang filsafat modern dan pandangan orang barat terhadap Islam. Banyak buku sudah dihasilkan dari Annisa yang memotret hak perempuan dalam Islam (ini baru muslimah yg berjiwa moderat).

Dalam kiprahnya itu, Annisa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai. Namun Annisa masih dalam trauma pernikahan. Tapi Khudori bisa mengerti kondisi Annisa. Akhirnya keduanya menikah meski sebetulnya pernikahan itu membuat hubungan Annisa dan keluarganya semakin renggang. Khudori menyarankan Annisa untuk pulang. Annisa tidak mau karena merasa sudah diusir dari rumah itu. "Sebenarnya tidak ada yang mengusir kamu. Kamu yang selalu merasa terusir oleh kami." Begitu Ibunya selalu bilang kepada Annisa. Bagi Annisa Ibu adalah figur yang lemah, figur yg dibentuk oleh doktrin dalam pesantren. Tidak berdaya dihadapan ayahnya. Ibu bukan orang yang bisa dijadikan teladan bagi Annisa. Tapi kemudian Annisa sadar bahwa untuk menciptakan lingkungan nyaman, seseorangan harus mengubah dirinya menjadi nyaman. Dan itu yang dilakukan oleh Ibu, yang biasa dipanggil Nyai. Rasa diam ibu, yang dianggap Annisa sikap lemah dan tak berdaya, sebenarnya adalah sikap toleran dan pengertian demi lingkungan stabil yang diperjuangkan.

Akhirnya Annisa pulang dan sujud dihadapan ibunya. Kata maaf dari Annisa bukan ditujukan untuk suatu kesalahan. Tapi sebuah sujud rasa bakti kepada orang tua. Dalam kata maaf itu, Annisa berjanji untuk terus berjuang menjadi yang terbaik. Menjadi muslimah sebagaimana yang Ayah dan Ibunya inginkan.

Cerita ini memiliki intrik dan masalah yg lebih berbobot daripada apa yang ditawarkan Ayat2 cinta maupun Ketika cinta bertasbih. Ini adalah pencitraan kerasnya kehidupan bagi seorang perempuan, bukan suatu mimpi seorang pria.

Dibintangi oleh Revalina S Temat, Oka Antara, dll.

Adalah film yg saya rekomendasikan utk ditonton, sebagai hiburan dan utk diambil hikmah dalam suguhan didalamnya. This is a great movie !!

No comments: